Hukum dan Pranata Pembangunan - BAB 4
TUGAS MATA KULIAH HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
Nama = Raden Tirta Artanti A.
Kelas = 3TB01
NPM = 25315503
Bab 4 - Solusi dan Kesimpulan
SOLUSI
Berdasarkan pemaparan masalah-masalah di atas, permasalahan terletak lebih banyak yang berhubungan dengan koordinasi antar lembaga (antara BPN atau juga Badan Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam / Dinas – Dinas). Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun Badan Otorita Batam (BOB) dan Pemkot Batam (misalnya Dinas Tata Ruang) sulit untuk melakukan hubungan / koordinasi, akibatnya terjadi tata guna lahan yang keliru. Hal ini dikarenakan secara birokratis tidak ada garis komando / garis koordinasi antara pemerintah Kota Batam dengan BPN atau pun Badan Otorita Batam. Perubahan guna lahan yang tidak sesuai dengan rencana / zoning cenderung sulit untuk diatasi, karena terbentur hak orang / lembaga atas lahan tersebut (misalnya dalam kasus ini hak lahan yang jatuh pada para developer).
Solusi yang bisa dipertimbangkan untuk mencegah konflik masalah seperti yang dijelaskan di atas dapat berupa =
1. Bangun koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional (yang juga terkait dengan Badan Otorita Batam) dengan Pemerintah Kota (terutama badan perizinan lokal seperti dinas tata ruang) dengan sebelumnya harus diperjelas mengenai kewenangan dari masing-masing lembaga, jangan sampai terdapat kewenangan yang overlap. Akan tetapi mungkin Pemkot Batam justru harus melakukan pendekatan koordinasi terlebih dahulu dengan kanwil atau kanah.
2. Idealnya sistem yg sekarang dirombak, di mana badan atau lembaga yang berwenang mengurus perizinan dan pemilikan lahan idealnya adalah lembaga yang sama. Dengan demikian, diharapkan pemberian izin dan terkait kepemilikan lahan dilakukan secara terpadu dan meninjau segala aspek secara komperensif.
3. Badan Pertanahan Nasional (atau Kanah dalam konteks kota) sebaiknya tidak bersifat centralized tetapi dibentuk menjadi semacam kementerian di mana dalam lingkup kota / wilayah, badan pertanahan yang ada di kota seperti Kanah memiliki koordinasi juga dengan pemerintah kota. Dengan demikian, tidak ada miskoordinasi antar lembaga terkait.
4. Jangan lupa untuk kerap menanamkan pengetahuan mengenai RTRW pada masyarakat awam.
5. Selalu mengingatkan tentang update RTRW kepada masyarakat dan pemerintah.
4. Jangan lupa untuk kerap menanamkan pengetahuan mengenai RTRW pada masyarakat awam.
5. Selalu mengingatkan tentang update RTRW kepada masyarakat dan pemerintah.
Solusi tersebut berlaku juga untuk kasus di wilayah lainnya (diluar kasus Batam).
Dengan solusi – solusi di atas, diharapkan permasalahan-permasalahan pemanfaatan lahan dan penataan ruang yang terutama diakibatkan oleh faktor kelembagaan bisa teratasi baik itu di Batam maupun di kota manapun di seluruh Indonesia.
KESIMPULAN
Setiap melaksanakan kegiatan pembangunan diharuskan untuk mengacu kepada ketentuan yang berlaku, yaitu berupa peraturan perencanaan tata ruang wilayah. Agar terlaksana pembangunan sesuai yang diinginkan, proses pembangunan harus selalu mempertimbangkan segala aspirasi baik dari masyarakat maupun stakeholder lainnya, mulai dari perancangan dokumen perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan serta pengendalian. Hal ini dilakukan guna menerapkan keadilan bagi setiap aktor yang berkepentingan, agar tidak ada yang merasa dirugikan. Selain diperlukan diskusi antar stakeholder pra-pelaksanaan pembangunan. Dalam pelaksanaannya juga dibutuhkan koordinasi antar stakeholder tersebut. Koordinasi dengan hierarki yang jelas dan informasi yang baik akan meminimalisir adanya penyimpangan yang menimbulkan kerugian.
Kasus seperti penyimpangan guna lahan hutan lindung ini terjadi akibat adanya miskoordinasi antara Pemerintah Kota Batam (Pemkot) dengan Badan Otorita. Pemerintah Kota sebenarnya telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan Rencana Tata Ruang sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, namun sekali lagi pemkot tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah kota karena kewenangan pemberian ijin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Kota tersebut. Apabila konflik kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota tersebut yang notabene sangat terbatas dan tentunya merugikan bagi masyarakat.
SUMBER
UU No. 26 Tahun 2007 – Penataan Ruang
UU No. 24 Tahun 1992 – Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Makalah Tantangan Batam dalam Era Otonomi Daerah, Dept. PU, 2006
Komentar
Posting Komentar